Akhir Abad Pertengahan: Kemunduran Paus yang Menandakan Munculnya Renaissance

BEMP Pendidikan Sejarah UNJ
8 min readFeb 8, 2023

--

Oleh : Muhamad Figo Handika ( Mahasiswa Pendidikan Sejarah 2020 )

Sumber Gambar : Ilustrasi BEMP Pendidikan Sejarah UNJ

Berbagai situasi pada Abad Pertengahan ditandai oleh satu hal besar di dalamnya yang sudah terjadi, yaitu kehancuran Romawi Barat. Oleh sebab itu, berakhirnya Pax Romana yang berarti kedamaian berada di tangan Romawi mulai pudar dan terpecah menjadi beberapa kerajaan besar dan kecil sehingga secara tidak langsung menandai dimulainya abad pertengahan (the middle age), sebab bagian dari Romawi hanya tersisa bagian timurnya saja (Byzantium) dan bagian barat mengalami kehancuran dikarenakan pemberontakan dari dalam dari seorang jenderal bernama Flavius Odoacer atau Flavius Odovacar. Odoacer adalah seorang jenderal Romawi dari Suku Jermanik Sciri yang menjadi sosok tirani Italia pertama sejak runtuhnya Kekaisaran Romawi. Tidak sampai disana, ia juga dianggap sebagai pemimpin kaum Barbar yang berani melawan dominasi Kekaisaran Romawi.

Abad yang dipenuhi kegelapan (dark age) adalah sebuah fase di mana Eropa mengalami kekacauan yang luar biasa hebat di berbagai bidang.[1] Hal tersebut bisa dikatakan bermula pada gagasan yang berasal dari Francesco Petrarch (1304–1374). Seperti yang sudah ditulis sebelumnya bahwa abad kegelapan dimulai pada masuknya Kristen ke Romawi sehingga memberikan efek stuck kepada sendi-sendi kepemerintahan Romawi sebab Kristen memengaruhi kehidupan Romawi.

Hal itulah yang membuat Eropa mempunyai wajah yang tidak jelas karena pemikiran intelek seperti yang dihasilkan Aristoteles, Plato, dan lain sebagainya menjadi hilang, alias menciut secara drastis dan menghilang secara perlahan. Dampak yang dihasilkan adalah aktivitas ilmu pengetahuan harus berdasarkan apa yang akan dikatakan otoritas gereja dan dikenal sebagai semboyan ancilla thologia (abdi agama) sehingga bisa dikatakan “tidak jelas” sebab pihak gereja mengatakan apapun sebagai ketentuan Tuhan. Akibat hal ini juga, memunculkan pemikiran filsafat skolastik milik Thomas Aquinas, yang maksudnya adalah filsafat yang dilandasi agama dan sebagai alat untuk pembenaran agama.

Cahaya suram Eropa ikut menghiasi suramnya wajah para manusia yang juga hidup semasa abad kegelapan, salah satunya adalah Nicolas Copernicus yang menyatakan bahwa matahari adalah pusat tata surya, alias dengan Teori Heliosentris. Sedangkan pihak gereja meyakini bahwa bumilah yang menjadi pusat tata surya, alias dengan Teori Geosentris sehingga mengecap Copernicus sebagai bid’ah (sesat). Oleh sebab itu, penulis mencoba untuk menulis artikel mengenai kejatuhan kekuasaan kepausan yang menandai berakhirnya abad kegelapan Eropa atau abad pertengahan, ataupun juga Abad Kekristenan (Christian Century).

Sebelum penulis menjelaskan lebih lanjut ke dalam topik utama, yaitu kemunduran paus, penulis akan menjelaskan terlebih dahulu kejadian-kejadian yang menurut penulis adalah sebab yang paling fatal dalam ketidakpercayaan seluruh elemen masyarakat (kecuali kaum rohaniwan) kepada otoritas gereja.

Perang Salib

Ketidakpercayaan seluruh elemen masyarakat bisa dimulai pada titik Perang Salib ini yang akan penulis coba uraikan.

a). Perang Salib I (1096–1099 M)

Pada Perang Salib I inilah pihak gereja mengalami kemenangan yang apik terhadap kaum muslimin dalam kasus perebutan Yerusalem. Paus Urbanus II mengeluarkan maklumat kepada raja-raja Kristen Eropa di Konsili Clermont, Prancis. Yerusalem pada saat itu sedang dikuasai oleh Bani Saljuk dan membuat Paus Urbanus II mengutuk tindakan yang dilakukan oleh pemerintahan Bani Saljuk dengan mempersulit dan menganiaya umat Kristiani yang akan berziarah ke Yerusalem, makam Nabi Isa.[1] Hal tersebut membakar semangat para raja-raja Kristen Eropa untuk berjihad dalam merebut kota suci, Yerusalem, karena Paus Urbanus II menggunakan kata :

Bergegaslah dan kalian akan memperoleh penebusan dosa serta pahala di Kerajaan Surga

untuk bisa menghancurkan kaum Muslimin yang menguasai Yerusalem.

Pada perang ini dimenangi oleh pihak Kristen sehingga menyebabkan Yerusalem jatuh ke tangan Kristen/gereja. Terdapat dua gelombang yang ingin merebut Yerusalem, yaitu gelombang pertama yang dipimpin Peter the Hermit (Peter Sang Pertama) dan gelombang kedua yang dipimpin oleh Hugues I dari Vermandois, Raymond IV dari Toulouse, Bohemond dari Sisilia, dan Godfrey dari Bouillon. Gelombang pertama mengalami kegagalan, sedangkan gelombang kedua mengalami keberhasilan dan mendirikan empat kerajaan, yaitu County Edessa, Kepangeranan Antiokia, Kerajaan Yerusalem, dan County Tripoli.

b). Perang Salib II (1147–1149 M)

Kekalahan yang diterima pihak Muslim dibalas dengan direbutnya County Edessa ke tangan Muslimin oleh Imaduddin Zanky (Zengi) pada tahun 1444 M setelah merebutnya dari Jocelin II. Jocelin yang tidak terima daerahnya direbut, kemudian melancarkan aksi balas dendamnya kepada kaum Muslimin, tetapi berhasil dikalahkan oleh anak dari Imaduddin Zengi, Nuruddin Zengi. Hal tersebut membuat Eropa gempar dan membuat Paus Eugenius III mengeluarkan maklumat sebanyak 2 kali dan menitahkan Santo Bernadus dari Clairvaux untuk membakar semangat pasukan Salib untuk membalas dendam.

Pemimpin yang ikut serta dalam Perang Salib II ini adalah Raja Louis VII dari Perancis dan istrinya, Eleanor. Kemudian, Kaisar Jerman Conrad III dan keponakannya, Friedrich I Barbarossa, Raja Alfonso VII dari Leon, Raja Baldwin III (Raja Yerusalem) dan Ordo Templar. Akan tetapi, penyerangan ini merupakan kekalahan bagi pihak Kristen sebab penyerangan mereka digagalkan oleh Salahuddin Yusuf bin Ayyub dan akibatnya, Yerusalem berhasil direbut oleh Salahuddin pada tahun 1180 M.

c). Perang Salib III (1189–1191 M)

Setelah kemenangan pihak Muslim atas Kristen pada Perang Salib II membuat Salahuddin mengincar kekuasaan, yaitu dirinya menginginkan posisi sebagai penguasa dan Sultan Mesir sehingga menganggap dirinya bukan lagi bawahan dari Nuruddin Zengi.

Pada tahun 1177 M, Raynald de Chatillon, penguasa Kerak di Kerajaan Yerusalem berhasil mengalahkan Salahuddin dan menyebabkan pihak Muslim mundur dalam peperangan di Montgisard sehingga menyebabkan Raynald semakin percaya diri untuk mengalahkan pihak Muslim dengan cara membunuh kabilah haji. Hal ini merupakan amarah besar Salahuddin untuk benar-benar menumpas Raynald dalam Perang Hattin di bulan Juli 1187 M sehingga Raynald dieksekusi mati. Kemudian dari hal inilah membuat penguasa seperti Raja Inggris Richard the Lionheart, Kaisar Jerman-Romawi Suci Friedrich I Barbarossa dan Raja Perancis Philip II Augustus ikut serta dalam peperangan. Akan tetapi, pertempuran Hattin ini berhasil dimenangkan oleh Salahuddin dan membuat Raja Richard mengusulkan-menyepakati perjanjian damai terhadap Salahuddin.

Sebenarnya masih banyak Perang Salib yang dilakukan oleh pihak Islam-Kristen. Bisa dikatakan pada Perang Salib ini adalah bahwa Perang Salib I memberikan kemenangan kepada pihak Kristen dengan jatuhnya empat wilayah sekali yang membentuk Kerajaan Yerusalem (Edessa, Antiokia, Yerusalem, dan Tripoli). Akan tetapi, pada peperangan tersebut justru diakhiri dengan kemenangan mutlak dari pasukan Muslimin hingga berhasil mengusir seluruh Tentara Salib dan menghapus Negeri Salib dari Kawasan Mediterania Timur. Hal yang didapatkan dari perang tersebut adalah ketidakpercayaan yang timbul kepada pihak gereja karena mengalami kekalahan dari kaum Muslim.

Kemudian berbuntut kepada masa abad pertengahan akhir yang merupakan terjadinya krisis ketidakpercayaan dan membuat kemunduran bagi kepausan. Hal tersebut ditandai oleh beberapa kejadian, yaitu terjadi konflik antara Paus dan Raja Perancis, skisma besar dan gerakan konsiliar, gerakan bid’ah (heretik) abad ke-14, dan runtuhnya sintesis Thomisme.

Terjadi Konflik antara Paus dan Raja Perancis

Hal ini diawali oleh Paus Bonfasius VIII yang ingin mengklaim bahwa supremasi kepausan, tetapi mengalami kekalahan dan penghinaan oleh Raja Perancis Philip IV dari Navarre yang bercirikan sekuler, yaitu memisahkan agama dengan negara. Philip IV marah besar akibat tindakan paus yang akan mengucilkannya sehingga menyebabkan Bonifasius VIII ditangkap pada September 1303 M, walaupun pada akhirnya dibebaskan kembali dan sebulan setelah pembebasannya, beliau meninggal dunia. Hal inilah merupakan pukulan telak bagi paus karena telah merasa terhina dan menjatuhkan harga dirinya. Tak lama kemudian, Perancis mengambil alih kepausan sehingga kepausan berada pada tangan cengkraman Raja Perancis dan situasi tersebut dinamai Babylonian Captivity (Penahanan Babel) yang mengakibatkan paus harus berada di Avignon, Perancis Tenggara. Oleh karenanya akibat tindakan tersebut, pihak gereja terpaksa harus membuat kebijakan yang harus menguntungkan Prancis.

Skisma Besar dan Gerakan Konsiliar

Kepausan menghadapi penghinaan kedua, yaitu terjadinya Skisma Besar atau pemisahan gereja karena perbedaan doktrin dan ritus. Paus Urbanus VI mencaci-caci para kardinal dan mengakibatkan para kardinal lari dari Roma dan menyatakan bahwa Urbanus VI dibatalkan pemilihannya dan menetapkan Klemens VII sebagai paus yang baru. Akan tetapi, Urbanus VI menolak mundur sehingga Eropa terbagi menjadi dua, yaitu di Roma (Urbanus VI) dan Avignon (Klemens VII). Sebagai akhirnya di tahun 1417 M, Skisma Besar berakhir karena keputusan konsili umum yang harus mengakhiri skisma yang dianggap memalukan bagi paus dan gereja.

Kemudian juga ada gerakan konsiliar yang berusaha mengubah monarki kepausan menjadi konstitusi yang dimana kekuasaan paus tersebut akan diatur dalam konsili umum, tetapi gerakan ini gagal dan gereja mengutuk gerakan ini adalah gerakan yang sesat (bid’ah). Oleh karenanya, banyak orang Kristen yang merindukan kesederhanaan agama, tetapi tidak dihiraukan oleh paus dan malah melahirkan gerakan Reformasi Protestan di abad ke-16 yang memisahkan Kristen, yaitu antara Katolik dan Protestan.

Gerakan Bid’ah (Heretik) Abad ke-14

Gerakan bid’ah pada masa abad pertengahan akhir adalah pemicu dari gerakan Reformasi Protestan oleh dua orang, yaitu John Wycliffe dan Czech Jan Hus. John mengatakan bahwa kitab suci, Alkitab, adalah otoritas tertinggi dan tidak diperlukan pengembangan lebih lanjut oleh pihak berwenang, seperti gereja dan juga, tidak diperlukan sakramen yang dianggap sebagai keselamatan. Jan Hus, salah satu pengikutnya yang juga turut menyebarkan pemikiran John justru dibakar hidup-hidup oleh pihak gereja dan beberapa pengikut John yang lainnya sehingga menyebabkan pihak gereja mengalamatkan John Wycliffe dan Jan Hus adalah sesat (heretik). Sebab inilah yang menjadikan dasar fundamental atau penting bagi Reformasi Protestan yang akan digagas oleh Martin Luther.

Runtuhnya Sintesis Thomisme

Pemikiran Thomas Aquinas mengalami pertentangan yang semakin lama semakin banyak akibat pemikiran dari filsafat skolastiknya. Filsafat skolastik adalah sebuah sistem filsafat yang diajarkan di universitas pada abad pertengahan yang berdasarkan pada pemikiran prinsip keagamaan dan hal inilah yang dianggap sebagai senjata, yaitu logika formal dari Aristoteles.

Aquinas menyebarkan pemikirannya yang membuka wawasan gereja terkait sintesis penyatuan iman dan logika Aquinas yang menggunakan logika Aristoteles dalam bukunya yang berjudul Summa Theologiae. Di abad ke-14 mulai banyak pemikir yang meragukan sintesis Aquinas sehingga memunculkan filsafat analitis dan kritis yang berakibat pada menentang doktrin gerejawi terkait hal tersebut. Johannes Duns Scotus yang sama-sama pengagum logika Aristoteles menyangkal pendapat Aquinas, sebab akal dan iman harus dipisahkan. Iman yang berdasarkan kepercayaan, bukan dibuktikan, dan logika yang menggunakan akal tidak bisa disatukan dengan iman. Juga, William dari Ockham yang juga menentang Aquinas, karena menurutnya pengetahuan alam harus dipisahkan dari agama sehingga dapat lebih mudah menjelajahi dunia (alam), tanpa harus dikekang oleh kerangka agama.

Kesimpulan

Dari rentetan panjang beberapa kejadian abad pertengahan yang menyangkut soal gereja, seperti Perang Salib hingga konflik ataupun gerakan yang berhubungan tentang penentangan terhadap gereja adalah sebuah tanda dari kejatuhan ataupun kemunduran pihak gereja yang sudah mendominasi kehidupan abad pertengahan. Sejak kejatuhannya pada Thomisme milik Thomas Aquinas, sudah bisa dikatakan bahwa paus kehilangan kedudukannya dalam kancah kekuasaan di Eropa sehingga Zaman Kekristenan ini mulai memasuki Zaman Renaissance yang bercirikan humanisme, liberalisme, dan lain sebagainya. Juga, rentetan Reformasi Protestan juga membuat kedudukan Kekristenan terpecah menjadi dua, yaitu Katolik dan Protestan sehingga cita-cita ataupun impian dalam mengabulkan dunia yang dipegang atas Kekristenan menjadi cacat/terpecah menjadi dua.

Daftar Referensi

[1] Buku:

  • Arifian, Alfi. 2017. Sejarah Dunia Abad Pertengahan 500–1400 M: Dari Pemberontakan Odoacer Hingga Runtuhnya Sintesis Thomisme. Yogyakarta: PT. Anak Hebat Indonesia.
  • Cneajma, Hyphatia. 2007. Dracula: Pembantai Umat Islam dalam Perang Salib. Yogyakarta: Navila Idea.
  • Miftakhuddin. 2019. Sejarah Peradaban Dunia Lengkap: Dari Era Manusia Pertama Hingga Perang Dunia Kedua. Yogyakarta: Unicorn Publishing.
  • West, Willis Mason. 2018. A History of Europe (Sejarah Eropa): Dari Zaman Kegelapan Hingga Era Baru. Yogyakarta: Forum Grup Relasi Inti Media.

[2] Jurnal:

  • Syukur, Syamzam. (2011). Perang Salib dalam Bingkai Sejarah. Jurnal Al-Ulum, Vol 11 (№1), hlm 189–204.

--

--

BEMP Pendidikan Sejarah UNJ
BEMP Pendidikan Sejarah UNJ

Written by BEMP Pendidikan Sejarah UNJ

Jumanji sebagai medium untuk memulai membaca, berpikir dan menulis dalam rangka membangun pemikiran dan gagasan manusia sejarah yang progresif!

No responses yet