Review Buku Sukarno, Marxisme & Leninisme: Akar Pemikiran Kiri & Revolusi Indonesia
Oleh : Jeannyjie Alya Chandra Ayu ( Mahasiswi Pendidikan Sejarah 2022 )
Marxisme menyatakan bahwa pertentangan dua kelas utama yang menjadi penggerak perubahan masyarakat terjadi secara dialektik.
Masyarakat telah berkembang secara dialektik melalui beberapa tahap-masyarakat perbudakan, masyarakat feodal, dan masyarakat kapitalis. Dalam masyarakat terakhir ini terjadi pertentangan antara dua kelas utama, yaitu kapitalis (yang memiliki alat-alat produksi) dan kaum proletariat (yang hanya memiliki tenaga). Jika masyarakat kapitalis telah berkembang, masyarakat itu akan berubah-sebagai gerakan dialektik terakhir-menjadi masyarakat komunis.
Kapitalisme akan hancur hanya karena krisis internal yang mengarah pada ledakan revolusioner.
Menurut Karl Marx, kaum proletar akan memainkan peranan historis untuk merombak keadaan masyarakat dengan merebut kekuasaan dari kaum kapitalis melalu revolusi dan menguasai alat-alat produksi.
Pertarungan antara kaum kapitalis melawan kaum proletar merupakan pertentangan kelas terakhir sehingga gerak dialektik akan berakhir. Revolusi akan mengawali “diktatur proletaria revolusioner” yang merupakan transisi ke masyarakat komunis. Masyarakat komunis pun mengenal suatu tahap awal (the first of communist society) yang kemudian oleh Vladimir Ilyich Lenin sebut sebagai “tahap sosialisme” — setiap orang memberi sesuai dengan kemampuannya dan menerima sesuai dengan karyanya.
Pada masyarakat yang telah mencapai komunisme penuh (the higher of communist society), prinsip ekonomi telah meningkat menjadi “setiap orang memberi sesuai dengan kemampuannya, menerima sesuai dengan kebutuhannya”.
Menurut Karl Marx, dalam masyarakat komunis kelas sosial telah ditiadakan dan dengan sendirinya pertentangan kelas dengan segala kekerasannya juga telah berakhir. Tiada lagi eksploitasi, penindasan, dan paksaan negara yang oleh Marx dianggap sebagai alat pemaksa di tangan kelas yang berkuasa sehingga tidak lagi perlu ada dan akan dilenyapkan.
Akan tetapi, mereka yang menganut ajaran Marx memiliki tafsiran berbeda-beda sehingga mereka terbagi dalam beberapa kelompok. Perbedaannya antara lain mengenai cara mencapai tujuan (apakah harus melalui revolusi dan tindakan langsung) atau cukup dengan memperjuangkan perubahan dan perbaikan yang setengah-setengah, seperti misalnya hari kerja delapan jam dan berbagai jaminan sosial.
Di satu pihak, ada seorang tokoh sosialis Jerman, Eduard Bernstein, yang berpendapat bahwa “tujuan dapat dicapai tanpa revolusi, melainkan melalui jalan parlementer”. Karena pemikirannya yang begitu menyimpang dari ajaran Marx, ia dijuluki revisionis. Di pihak lain, ada kelompok yang memperjuangkan “aksi langsung” dan revolusi, termasuk V.I. Lenin dan Rosa Luxemburg (Jerman).
Pemikiran berbeda juga digagaskan oleh Sukarno yang mempunyai karakteristik yang menarik, dalam konsep yang diusungnya tentang Marhaen misalnya. Dimana konsep itu lahir dengan perluasan dari konsep “proletar” dalam Marxisme yang telah disesuaikan dalam konteks ke-Indonesiaan.
Bagi Soekarno, Marhaen merupakan keseluruhan mereka kaum yang tertindas (hal. 39), karena Negara kita pada masa itu berada dalam gelapnya kolonialisme.
Oleh karenanya Sukarno akhirnya memandang satu realitas yang sedikit berbeda dengan Marx di Eropa. Bahkan petani yang memiliki faktor produksi sendiri tetap hidup melarat, meski bekerja untuk dirinya sendiri (hal. 40). Marhaen, atau bahkan Marhaenisme, telah dijadikan rujukan dalam setiap pikiran dan langkah yang berusaha untuk terus direproduksi dan dimanifestasikan oleh PNI, yang dalam perkembangannya juga telah menelurkan berbagai macam tafsiran.
Walaupun begitu, gagasan yang di usung Sukarno tetaplah Kiri, meskipun dia mencoba melakukan perpaduan dengan pemikiran Islam dan Nasionalismenya. Akan tetapi tujuan yang dia usung tetaplah semangat anti-kolonialisme. Sukarno memposisikan dirinya dalam dimensi ruang dan waktu yang berbeda dengan Marx. Dimana hal ini dia sadari sehingga dia berusaha membentuk pemikirannya sendiri, walaupun berhutang besar dengan Marxisme. Hanya saja Sukarno tetap memberi satu penekanan kontekstual sehingga dia melihat kalau Nasionalisme dan Islamisme berada di jalan yang sama dalam koridor anti-kolonialisme.
Pereview : Jeannyjie Alya Chandra Ayu ( Mahasiswi Pendidikan Sejarah 2022 )
Judul Buku : Sukarno, Marxisme & Leninisme: Akar Pemikiran Kiri & Revolusi Indonesia
Penulis : Peter Kasenda
Penerbit : Komunitas Bambu
Cetakan : Pertama, 2014
Tebal : xiv + 274 halaman